Ledakan Bom Tak Lagi Menakutkan bagi Syeikh Yahya Mohammed al-Shafei yang Jadi Imam sejak Usia 11 Tahun.
Bagi yang tinggal di tanah damai, bunyi ledakan bom adalah sesuatu. Ada perasaan kaget, takut, dan mengerikan. Tapi hal itu tak berlaku bagi warga Palestina. Ledakan bom tak lagi asing di telinga mereka.
Seperti pengakuan Syeikh Yahya Muhammad Al Shafei. Pria kelahiran Gaza, 24 Februari 1991 itu telah akrab dengan suara ledakan bom sejak bayi. “Sejak saya lahir sudah ada konflik di Gaza. Tapi saya baru paham benar arti perang ketika usia 8 tahun,” ujarnya seperti diterjemahkan Zaki Abdul Wahid, guru SD Muhammadiyah Manyar (SDMM) yang mendampinginya.
Syeikh Yahya lahir dan besar di Khan Younis, Gaza, yang berjarak 15 km dari pusat konflik. “Jadi agak jauh dari tempat konflik. Tapi kalau namanya perang itu ya gak ada jauh atau dekat. Di mana pun harus selalu siap,” ungkapnya.
Pria lulusan Studi Islam di Al Aqsha University itu berceri-ta, sewaktu kecil ia selalu kaget dan takut tiap kali mendengar suara bom atau ledakan. “Tapi kini, kagetnya hanya ledakan pertama. Se-telah itu sudah biasa karena memang kondisi perang,” ungkapnya.
Anak kedua dari 12 bersaudara itu mengaku keluarganya belum ada yang syahid dalam perang Gaza. “Tapi sudah ada yang terluka,” ucapnya lirih namun tetap tersenyum.
Syeikh Yahya adalah salah satu duta Palestina yang digandeng Lazismu Jawa Timur dalam kegiatan bertajuk “Ramadhan 1440 Hijriyah Mencerahkan”. Syeikh Yahya bersafari dakwah di kawasan Gresik dan Lamongan, dari satu masjid ke masjid atau dari sekolah ke sekolah lainnya. Tujuannya untuk membangun solidaritas umat Islam Indonesia, khususnya menggalang dana kemanusiaan pembanguan rumah sakit Indonesia di Kota Hebron, Palestina.
Selain menjadi imam dan penceramah, Sheikh Yahya membimbing tahsin al-Qur’an anak-anak sekolah, seperti yang di-lakukan dalam acara Cinta Alquran di SD Muhammadiyah Manyar.
Ada kisah menarik soal bagaimana dia berproses menjadi imam seperti sekarang ini. Ketika itu usianya baru menginjak 11 tahun. Ayahnya meminta dia menggantikan imam yang berhalangan hadir di masjid. “Saat itu ada pertentangan dari beberapa syeikh lain,” cerita dia. Menanggapi hal tersebut, ayahnya meminta Yahya membacakan beberapa surat di depan para syeikh. Mereka pun terdiam setelah mendengar bagusnya bacaan Yahya. “Setelah itu saya banyak diminta menjadi imam di beberapa masjid. Juga diminta menggantikan imam yang berhalangan,” ungkapnya.
Lelaki muda yang bekerja di Darul Quran wa Sunnah itu senang selama tinggal di Indonesia karena keramahan masyarakat-nya. “Pengorbanan orang Indonesia juga luar biasa untuk memban-tu Palestina. Semoga dimuliakan Allah,” kesannya. Ia berharap doa bagi rakyat Palestina, khususnya Gaza yang hingga kini masih teriso-lasi. “Cukup sulit mendapat bantuan pangan dan obat. Listrik juga hanya 4-8 jam,” ungkapnya. (Vita / pwmu.co).
Syeikh Ahmed Saleem : “Andai Aku Bisa Memilih, Aku Ingin Lahir di Indonesia, Negeri yang Sangat Indah ini”
Syeikh Ahmad Saleem Sulaiman Abu Anza mengaku baru kali ini keluar Timur Tengah. Pria kelahiran Uni Emirat Arab (UEA) 21 Mei 1991 namun besar di Gaza ini menuturkan, dirinya datang ribuan kilometer dari tanah Palestina yang sedang dalam gempuran dan bombardir Israel untuk bersafari dakwah di Jawa Timur atas tugas dari lembaganya Darul Qur’an wa Sunnah yang bekerjasama deng-an IESCO dan Lazismu. Sungguh tugas yang berkesan baginya.
Hingga kini, kata dia, rakyat Palestina masih terus berjuang melawan penjajahan dan penindasan yang dilakukan oleh kaum Zionis Israel. “Tentara Yahudi telah membunuh wanita dan anak-anak secara membabi buta. Bahkan, orang-orang Yahudi telah menjadikan permasalah Palestina ini hanya untuk masyarakat Palestina saja. Masalah kemanusiaan ini dipisahkan dari dunia Internasional,” ujarnya miris.
Syeikh Ahmad pun mengaku senang dengan adanya jalinan persaudaraan yang baik antara bangsa Indonesia dengan bangsa Palestina. Menurut dia, persaudaraan yang ada di antara para Nabi dengan para sahabat, dan di antara kaum Anshor dan Muhajirin itu ada pula di antara bangsa Palestina dan Indonesia.
“Sungguh persaudaraan yang pernah terjalin antara kaum Muhajirin dan Anshar di Madinah itu kini kami rasakan di antara bangsa Palestina dan Indonesia,” terangnya. Bapak dua orang puteri menyebutkan, seandainya dirinya boleh memilih di mana akan dilahirkan, maka ia tidak memilih dilahirkan di Gaza, Palestina. “Saya berharap lahir di Indonesia,” ungkapnya.
Pertama kali Naik Kereta Api
Salah satu perjalanan yang berkesan bagi Syeikh Ahmed adalah naik Kereta Api. Ia menyebutkan, kereta api di tanah Palesti-na hanya ada di area yang kini dikuasai oleh Zionis Israel. Tepatnya, berada di Kota Tel Aviv Israel dan sekitarnya. “Warga Gaza dan Tepi Barat tak bisa masuk, apalagi naik kereta api. Maka, naik kereta api di Indonesia ini adalah sesuatu yang luar biasa bagi saya,” paparnya.
Perjalanan dari Banyuwangi menuju kota Malang dengan menggunakan Kereta Api Kelas Ekonomi Tawang Alun tersebut ternyata menjadi pengalaman pertama bagi Syeikh Ahmad. “Seumur-umur baru pertama kali ini saya naik kereta api,” aku Syeikh Ahmad seperti yang tuturkan oleh penterjemah Imam Fauji.
Tampak beberapa kali Syeikh Ahmad mengabadikan pengalaman pertamanya naik kereta api. Ia beberapa kali melakukan video call dengan keluarganya di Palestina dan mengabarkan perjalanannya naik kereta api pada mereka.
Syeikh Ahmad juga mengungkapkan kekagumannya dengan negeri Indonesia yang memiliki pemandangan alam yang indah. “Indonesia adalah negeri yang indah. Saya sangat menikmati pemandangan hamparan tanah nan menghijau dari jendela kereta,” ungkapnya. (Aan / pwmu.co)