Bagaimana Tatacara Membayar Fidyah Menurut Syariat ?

Ibadah puasa di bulan Ramadan merupakan salah satu dari rukun Islam yang wajib dijalankan. Tujuannya sebagai sarana pendidikan untuk membentuk manusia yang bertakwa dan sekaligus sebagai wujud ketaatan kepada Allah swt (QS. Al Baqarah: 18 3).

Namun ada kalanya tidak semua orang diwajibkan berpuasa pengeucalian ini merupakan bentuk kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya. Secara umum terdapat dua cara menebus utang puasa, yaitu: qadla dan fidyah (QS. Al Baqarah: 184).

Sesuai dengan fatwa Majelis Tarjih PP Muhammadiyah sebagaimana dimuat dalam website www.muhammadiyah.or.id, Qadla atau mengganti puasa wajib di luar bulan Ramadan, diperuntukkan bagi mereka yang masih berpotensi sehat pada masa yang akan datang, misalnya, orang yang dalam perjalanan, wanita haid, dan lain-lain.

Sementara fidyah atau memberi makanan pokok/uang tunai kepada orang miskin sebanyak puasa yang ditinggalkan, diperuntukkan bagi mereka yang dalam kondisi sangat berat (yutiqunahu), misalnya, lanjut usia, wanita hamil atau menyusui, dan lain-lain.

Wujud fidyah yang dapat dikeluarkan dapat berupa 1) makanan siap saji; 2) bahan pangan sebesar satu mud; 3) uang tunai senilai satu kali makan. Dua dari ketiga kriteria ini dipahami dari makna umum (‘am) kata tha’am (makanan) yang terdapat dalam QS. Al Baqarah: 184. Dalam beberapa hadis, kata tha’am ini memang menunjukkan makna ganda: makanan siap santap dan bahan pangan. Sehingga menunaikan fidyah dapat berupa nasi kotak atau gandum, beras, dan lain-lain.

Sementara fidyah dengan uang tunai, terdapat perbedaan di antara para ulama. Lembaga fatwa Arab Saudi tidak memperkenankan fidyah dengan uang tunai, sementara dari lembaga fatwa al-Azhar dan Komisi Fatwa Kuwait membolehkan fidyah uang tunai sebagai pengganti makanan siap santap dan bahan pangan.

Fatwa Tarjih dengan memperhatikan dan mempertimbangkan aspek sifat likuid dari uang sendiri yang lebih bisa leluasa dimanfaatkan orang miskin, maka boleh pembayaran fidyah dengan uang. Mengenai cara membayar fidyah, dalam teks al-Quran dan Hadis tidak dijelaskan teknis pembayaran fidyah. Karenanya Fatwa Tarjih memutuskan bahwa menunaikan fidyah boleh dilakukan secara sekaligus atau diecer dengan cara membayar setiap kali tidak puasa Ramadan.

Sementara sasaran pemberian fidyah diarahkan kepada orang-orang miskin, baik secara konsisten diberikan kepada satu orang miskin, atau berbeda-beda sasaran orang yang pada intinya harus diarahkan kepada orang miskin. Terkait dengan waktu pembayaran fidyah, Fatwa Tarjih menegaskan bahwa tidak diperkenankan dilakukan sebelum orang yang berat menjalankan puasa tersebut secara pasti telah meninggalkan puasa. Bila jauh-jauh hari telah menunaikan fidyah, sementara ibadah puasa belum dimulai, maka perbuatan tersebut dianggap tidak sah. Karena itu, waktu pembayaran fidyah dilakukan setelah orang tersebut secara pasti telah meninggalkan puasa.

Adanya pelaksanaan fidyah ini sesuai dengan prinsip agama Islam itu sendiri yang bertujuan untuk memberi rahmat kepada manusia (QS. Al Anbiya: 107), tidak mempersulit orang beriman (QS. Al Hajj: 78), dan teknis pelaksanaannya bersifat memudahkan (QS. Al Baqarah: 185).

Ibu Hamil dan Menyusui Tidak Puasa, Wajib Fidyah atau Qadha?

Dalam Mazhab Syafii yang termuat di kitab Ghayah at-Taqrib karya Ahmad bin al-Husain Al-Syafii, perempuan hamil dan perempuan yang menyusui jika mereka merasa khawatir akan dirinya sendiri, boleh berbuka dan diwajibkan bagi keduanya untuk mengqadha.

Jika keduanya khawatir akan terganggunya tumbuh kembang buah hatinya, maka boleh berbuka puasa dan wajib mengqadha’ serta membayar kafarat untuk tiap hari satu mud. Sedangkan dalam Mazhab Hambali diterangkan di kitab Akhsharul Mukhtasharat karya Muhammad bin Badruddin Al-Hambaly bahwa jika perempuan hamil dan menyusui tidak berpuasa karena merasa khawatir akan dirinya sendiri, maka wajib mengqadha.

Jika kekhawatirannya itu disertai juga dengan keadaan tumbuh kembang anaknya, maka selain mengqhada, orang yang memberi nafkah anak itu wajib memberi makan kepada orang miskin.

Berbeda dengan Mazhab Syafii dan Maliki, Fatwa Tarjih menegaskan bahwa perempuan hamil dan menyusui jika meninggalkan puasa di bulan Ramadan maka wajib hukumnya membayar fidyah.

Alasannya agar tidak memberatkan para perempuan hamil dan menyusui (QS. Al Hajj: 78), dan teknis pelaksanaannya bersifat memudahkan (QS. Al Baqarah: 185).

Wujud fidyah yang dapat dikeluarkan dapat berupa 1) makanan siap saji; 2) bahan pangan sebesar satu mud (0,6 kg makanan pokok). Keterangan ini dipahami dari makna umum (‘am) kata tha’am (makanan) yang terdapat dalam QS. Al Baqarah ayat 184.

Dalam beberapa hadis, kata tha’am ini memang menunjukkan makna ganda: makanan siap santap dan bahan pangan. Sehingga menunaikan fidyah dapat berupa nasi kotak atau gandum, beras, dan lain-lain. Sementara fidyah dengan uang tunai, terdapat perbedaan di antara para ulama.

Lembaga fatwa Arab Saudi tidak memperkenankan fidyah dengan uang tunai, sementara dari lembaga fatwa al-Azhar dan Komisi Fatwa Kuwait membolehkan fidyah uang tunai sebagai pengganti makanan siap santap dan bahan pangan.

Fatwa Tarjih dengan memperhatikan dan mempertimbangkan aspek sifat likuid dari uang sendiri yang lebih bisa leluasa dimanfaatkan orang miskin, maka boleh pembayaran fidyah dengan uang.

[divider]

Bagaimana Cara Pembayaran Fidyah Bagi Ibu Hamil atau Menyusui?

Cara pembayaran fidyah bagi seorang ibu yang sedang menyusui anak karena tidak berpuasa pada bulan Ramadan, pada dasamya disesuaikan dengan kemampuan ibu yang akan membayar fidyah itu. Boleh sekaligus, boleh diangsur beberapa kali, bahkan boleh pula dibayar setelah lewat bulan Ramadan berikutnya, karena Allah SWT tidak menghendaki kesukaran bagi hamba-hamba-Nya (QS. Al Baqarah: 185).

Di samping itu Rasulullah saw menyamakan hutang puasa dengan hutang biasa, berdasarkan Hadits:

“Dari lbnu Abbas bahwasanya seorang wanita berkata: “Ya, Rasulullah sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, sedang ia berhutang puasa nadzar. Apakah aku berpuasa untuk ( mengganti)nya? “Rasulullah menjawab : “Bagaimana pendapatmu seandainya ibumu berhutang lalu kamu membayarnya, apakah pembayaran itu dapat melunasi hutangnya?” Wanita itu berkata : ” Dapat ” . Bersabda Rasulullah saw : ” Berpuasalah untuk ibumu”.

Tentu saja membayar hutang puasa dengan cara yang paling baik, seperti menyegerakan pembayarannya, disamping membayar fidyah juga berpuasa sebanyak hari-hari tidak melakukan puasa pada bulan Ramadan, termasuk mengerjakan kebajikan yang diberi pahala yang besar oleh Allah (QS. Al Baqarah: 184).

Sumber : www.muhammadiyah.or.id

[divider]

Program Ramadhan 1444 H

Scroll to Top